Beranda  |  e-Library  |  e-Learning  |  e-Journal  |  Webmail  |   Kontak

Biar Abadi, Baca dan Nulislah

sosiologi | Saturday, 10 February 2018 | 21:23 WIB  - Berita


Oleh : Abdus Sair

Dosen Sosiologi Fisip UWKS

 

 

            Banyak orang berujar, membaca itu jendela dunia. Bahkan penulis hebat seperti Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir dan Bung Tomo adalah orang-orang yang suka membaca, dulunya.

            Saya sangat percaya bahwa membaca itu banyak manfaatnya, selain membuat orang lebih banyak tahu, juga setidaknya akan lebih sehat. AS Laksana, penulis kolom mingguan di Jawa Pos pernah berujar bahwa, Pak Jakop Oetomo, pendiri dan pemilik Koran Kompas itu suka membaca sebagai terapi menjaga kesehatan. Itu sebabnya dia awet umurnya.

            Seorang guru ngaji dulu ketika di pesantran juga pernah berujar bahwa dengan membaca itu setidaknya akan membuat seluruh organ tubuh bekerja, mulai otak, jantung, usus kecil, usus besar, paru-paru, lambung, ginjal, hingga kantung kemih. Semuanya akan bekerja sehingga membuat tubuh menjadi lebih sehat. Itu sebabnya, orang yang membaca dijamin akan cepet lapar.

            David Lewis seorang peneliti di Universitas Sussex juga pernah menjelaskan bahwa membaca itu penghilangkan stress. Saya tidak tahu apa dasarnya, tapi kata dia, dengan membaca orang menjadi lebih tentram dibanding tidak membaca. Mungkin karena itu, membaca menjadi cara efektif menghilangkan stress, dibandingkan dengan main game, main gapley, atau melihat lihat film porno sekalipun.

            Faktanya sekarang, orang membaca seringkali ngantuk, jenuh, mumet, endah ngeluh, dan sebagainya. Fakta ini banyak dialami oleh kebanyakan masyarakat, termasuk para mahasiswa. Menurut saya, ini bukan soal membacanya, melainkan soal budayanya (tradisi).

            Sebagaimana diketahui tradisi kita selama ini tidak didorong untuk membaca atau menulis, melainkan hanya bertutur (berujar). Maka menjadi wajar kemudian jika ilmu tutur tinular jauh lebih hebat dibandingkan dengan ilmu reading and writing. Kondisi ini dapat dimengerti selain karena kondisi di atas juga karena sistem pendidikan yang tidak mendukung itu.

            Para lulusan lembaga pendidikan kita juga tidak jauh berbeda seperti para politisi, para pengamat, para dekan, dan para rektor itu, praktis banyak omongnya dari pada menulisnya. Sehingga ada klakar, ilmu ngedabrus kita sangat hebat, para professor di kampus itu juga lebih pas disebut sekumpulan ilmuan ngedabrus.

             Sebutan di atas mungkin berlebihan, tetapi tidak mengada-ada, faktanya memang demikian. Coba lihat saja, seberapa banyak kita membaca buku dalam satu bulan? Dan seberapa sering kita pergi ke perpustakaan? Jelas itu tidak bisa ditebak karena memang kita sangat jarang membaca dan menulis di perpustakaan.

            Kondisi tersebut tentu berbanding terbalik dengan kondisi di Jepang. Seorang sahabat yang sedang studi di Jepang pernah bercerita, bahwa anak-anak Jepang sedari kecil telah terbiasa membaca dan menulis. Hampir setiap hari mereka memegang buku. Di rumah dan di sekolah mereka terbiasa membaca. Demikian juga di stasiun ketera api, di bandara dan tempat-tempat umum lainnya juga banyak dihiasi dengan orang yang sedang membaca buku.

            Cerita di atas sama persis dengan sebuah hasil riset yang saya lupa dari mana sumbernya mengatakan, bahwa anak-anak Jepang dalam satu bulan bisa membaca 3-5 buku. Sungguh ini luar biasa, dan menjadi cermin bahwa Jepang adalah Negara dengan melek buku yang tinggi.

****

            Kembali ke soal tradisi, saya melihat orang-orang produktif dan progresif, baik di jalanan maupun di gedung bertingkat (orang kampus maskudnya) selalu disibukkan dengan membaca dan menulis. Mereka seperti tak ada waktu hanya untuk nyantai dan main-main. Kumpulan buku di rumahnya biasanya tidak terhitung. Dan itu menjadi sabahat dan istri keduanya.

            Sebut saja yang saya kenal dan masih muda misalnya, Airlangga Pribadi (pengamat politik), Novri Susan (pakar konflik), Ardy Raditya (penulis buku Sosiologi Tubuh), Muhammad Al Fayadl (penulis buku Derrida), Nurani Soyomukti (penulis buku Soekarno), Alfathri Adlin (penulis dan editor Penerbit Jalasutra), Alfan Alfian (penulis buku Wawasan Kepemimpina Politik), dan beberapa penulis yang lain. Dibalik itu semua mereka memiliki kultur yang kuat.

            Saya yakin, orang-orang itu tidak cerdas, namun memiliki kultur membaca dan menulis yang kuat, sehingga menjadi produktif. Mereka terkenal juga bukan karena ia seorang dosen atau mantan aktifis, melainkan karena karya-karyanya. Oleh karena itu, buat kita yang ingin abadi, maka membaca dan menulisnya, seperti kata Pramoedya Anata Toer “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian”.